on Rabu, 04 Maret 2009

I. Pengertian Jurnalistik Radio

Jurnalistik radio terdiri dari dua suku kata, yakni "Jurnalistik" dan "Radio".
Jurnalistik secara harfiah artinya kewartawanan, kata dasarnya adalah "jurnal"
yang berarti laporan atau catatan. Dalam pengertiannya radio merupakan salah satu
jenis media massa yang bersifat auditif, artinya radio adalah media yang
dikonsumsi oleh telinga atau pendengaran.
Jadi jurnalistik radio adalah teknik dan proses pembuatan dan penyebarluasan
informasi, khususnya berita, melalui radio dengan menggunakan suara dan bahasa
lisan.

II. Produk Jurnalistik Radio
1. News Program
Program berita radio meliputi :
a. News Flash
Adalah berita teraktual mengenai suatu peristiwa yang sedang terjadi dan
menjadi buah bibir masyarakat, di laporkan melalui udara.
b. Paket berita
c. Majalah Udara
Yakni, Beragan informasi dengan berbagai tema yang disajikan di radio,
seperti artikel, opini, fashion, dll
2. Feature Radio
Feature yang disajikan atau disuarakan, semacam drama radio.
3. Insert
Informasi yang disisipkan di antara sela-sela acara.


III. Teknik Siaran ada 2 :
1. Teknik Ad Libitum
Teknik siaran dengan cara berbicara santai, enjoy, tanpa beban sesuai dengan
selera penyiarnya.
2. Teknik membaca naskah
Dalam teknik ini, penyiar melakukan siaran dengan cara membacakan naskah
siaran yang sudah disusunnya sendiri atau dengan bantuan script writer.

Selain kedua teknik di atas, Bapak Asep Syamsul M. Romli akrab disapa Romel, menambahkan beberapa teknik siaran, yaitu :
a. Menggunakan suara asli
b. Memilki kekuatan imajinasi
c. Senyum

materi foto grafi

on Selasa, 06 Januari 2009

Siapa saja bisa memotret. Dengan tambahan pikiran kreatif dan kerja keras, kita dapat menciptakan gambar hebat yang menunjukkan segenap kreasi dan interpretasi terhadap apa yang dilihat dan jepret. Nah, seni mengabadikan gambar dengan menggunakan kamera di sebut dengan Fotografi.
Fotografi berasal dari bahasa Latin yaitu: photos adalah cahaya, sinar. Sedang graphein berarti tulisan, gambar atau disain bentuk. Jadi, fotografi secara luas adalah menulis atau menggambar dengan menggunakan cahaya. Gambar mati atau lukisan yang didapat melalui proses penyinaran dengan menggunakan cahaya.Karena dalam membuat gambar kita mengguanakan alat kamera maka sudah tentu kita harus benar-benar menguasai alat tersebut juga beberapa teknik dasarnya.
Dalam menggunakan kamera kita mengenal apa yang disebut dengan:
Fokus
Fokus adalah titik api
Rana/Kecepatan
Rana adalah tirai yang bergerak turun naik di dalam kamera yang berfungsi untuk mengatur berapa lama film hendak disinari. Rana memiliki satuan dengan nomor: B-1-2-4-8-15-30-60-125-250-500-1000-2000. Besar kecilnya satuan rana dapat ditentukan sendiri dengan mengatur besar dan kecilnyanya satuan rana dan besarnya diafragma.
Ada beberapa rana dalam kamera. Diantaranya rana celah dan rana pusat. Rana celah ada dua yaitu: Rana celah vertical dan horizonta. Keduanya terletaDia pada kamera yang bertugas menutup tirai dan mengikuti fungsinya. Rana vertial menutup secara vertikal dan yang horizontal menutup secara horizontal.
Sedang Rana pusat adalah, Rana yang terletak pada lensa letaknya berdampingan dengan diafragma dan menutupnya dengan cara memusat.
Diafragma
Diafragma adalah lubang dalam lensa kamera tempat cahaya masuk saat melakukan pemotretan. Diafragma memiliki beberapa ukuran atau angka-angka. Setiap lensa mempunyai perbedaan bukaan diafragma masing-masing. Biasanya, ukuran diafragma dimulai dengan 2,8-4-5,6-8-11-16-22. Besar kecilnya bukaan diafragma yang kita pilih menghasilkan foto yang berbeda. Bukaan diafragma kecil akan menghasilkan ruang yang luas. Sedang bukaan diafragma besar akan membuat ruang tajam sempit (Blur).
Atau mudahnya, diafragma artinya bukaan lensa. Efeknya, makin besar bukaan,maka makin besar kecepatan yang dibutuhkan, speed makin tinggi. Efek lainnya, makin besar bukaan, makin sempit ruang tajamnya, artinya makin besar efek blur untuk daerah diluar ruang tajam yang fokus. Banyak cara dan tujuan penggunaan/pemilihan diafragma, yg antara lain akan jelas mempengaruhi konteks dari foto yg kita buat
Misal untuk memotret landscape, dengan memakai kamera apapun, coba setel ke diafragma paling sempit (angka paling besar) yang mungkin dicapai, lalu diimbangi dengan penyetelan lama waktu bukaan seperlunya (perhatikan light meter).
Tapi khususnya untuk pemotretan malam, kadang kita tidak bisa mencapai bukaan paling sempit karena terbatas waktu bukaan shutter yang tidak bisa terlalu lama, apalagi di kamera prosumer yang biasanya terbatas hanya 13 detik maksimum. Untunglah untuk kamera digital prosumer hal ini tidak masalah, soalnya dengan ukuran sensor yang jauh lebih kecil daripada satu frame film 35mm maka ruang tajam tetap cukup luas, walaupun diafragma disetel ke f/3.5 misalnya. Dan, semuanya tergantung bagaimana foto akan kita buat.
Pencahayaan
Pencahayaan adalah proses menyinari film dengan cahaya yang datang dari luar kamera dengan mengontrol besarnya diafragma dan kecepatan.Dalam pencahayaan, bukaan diafragma menentukan intensitas cahaya yang diteruskan film. Sedangkan kecepatan rana menentukan jangka waktu transmisi sinar.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menentukan kombinasi yang tepat antara bukaan diafragma dengan kecepatan. Salah satunya dengan memilih prioritas diafragma. Maksudnya, pemotret bisa memilih berapa besar bukaan diafragma yang akan digunakan. Setiap bukaan diafragma yang dipilih akan membuat hasil gambar yang berbeda. Bila pemotret memilih menggunakan rana tinggi, maka itu berguna untuk menghentikan aksi. Sedang rana rendah akan membuat aksi kabur.Sedang untuk mengambil gambar di tempat dengan cahaya yang kurang maka untuk mengatasinya yang dilakukan oleh fotografer adalah memakai film dengan kecepatan tinggi. Misalnya Iso 400, 600, 800 atau Iso 1600.
Cara untuk mengukur pencahayaan biasanya ada di setiap kamera. Untuk mengukur cahaya agar sesuai, kita bisa mensiasatinya dengan cara mengukur telapak tangan atau mendekatkan kamera kita sekitar 30 cm dari objek. Maka, kita akan mendapatan pencahayaan yang sesuai.Untuk mendapatkan cahaya yang baik dalam pemotretan biasanya kita akan memilih memotret pada jam 08.00-10.00 dan 16.00-18.00. biasanya dalam waktu ini, cahaya dalam kondisi yang baik, dan tak terlalu keras.
Dalam pencahayaan ada beberapa teknik yang harus diperhatikan. Diantaranya:
Penerangan depan: Sumber cahaya berasal dari depan objek. Cahaya ini akan menghasilkan gambar yang datar.
Penerangan belakang : Sumber cahaya berasal dari belakang objek. Dengan sumber cahaya yang seperti ini maka objek yang kita ambil menjadi shiluette (hitam). Pemotretan dengan sumber cahaya dari belakang dilakukan bila kita ingin membuat sebuah foto shiluete.
Penerangan Samping : Pemotretan dengan memakai sumber cahaya dari samping membuat objek yang kita ambil akan nampak tegas. Biasanya cahaya ini
Lensa
Lensa adalah alat yang terdiri dari beberapa cermin yang berfungsi mengubah benda menjadi bayangan, terbalik dan nyata. Lensa terletak di depan kamera. Ada beberpa jenis lensa. Lensa normal, lensa lebar (wide) dan lensa panjang atau biasa disebut dengan lensa tele.
Lensa normal berukuran fokus sepanjang 50 mm atau 55 mm untuk film berukuran 35 mm. Sudut pandang lensa ini hampir sama dengan sudut pandang mata manusia. Selain lensa lebar, ada juga lensa tele.
Lensa lebar bisanya mempunyai lebar fokusnya 16-24mm. Lensa ini cocok untuk mengambil gambar pemandangan.
Lensa tele adalah lensa yang memiliki focal length panjang. Lensa ini dapat digunakan untuk memperoleh ruang tajam yang pendek dan dapat menghasikan prespektif wajah yang mendekati aslinya. Lensa ini biasanya berukuran 85mm, 135mm dan 200mm.
Bisanya fotografer menggunakan lensa sesuai dengan kebutuhannya. Bila ingin memotret benda atau objek yang dekat, atau memotret pemandangan, biasanya mereka menggunakan lensa normal atau lensa dengan sudut lebar.
Namun bila fotografer ingin mengabadikan sebuah moment tertentu dengan jarak yang jauh, biasanya mereka menggunakan lensa tele. Dengan demikian, mereka tak perlu repot untuk membidik objek, dan kerja mereka akan semakin mudah.
Selain lensa normal dan lensa tele, ada juga jenis lensa lainnya yang biasa disebut dengan lensa variasi atau lensa special (special lense). Biasanya lensa ini digunakan untuk keperluan tertentu. Contohnya fish eye lens (lensa mata ikan - 180 derajat).
Memotret dengan lensa ini fotografer akan memperoleh hasil yang unik. Namun, lensa ini tidak berfungsi untuk menyaring sesuatu kecuali mengubah pandangan guna mencapai hasil yang menyimpang dari pemotretan biasa.
Bila fotografer ingin mengambil objek dengan ukuran kecil atau pemotretan berjarak dekat (mendekatkan pemotret ke objek), umumnya lensa yang dipakai adalah lensa makro. Lensa ini biasanya juga dipakai untuk keperluan reproduksi karena dapat memberikan kualitas prima dan distorsi minimal. Misalnya: untuk memotret bunga, serangga, dll.
Selain peralatan, untuk menghasilkan sebuah foto yang baik kita juga harus memperhatikan beberapa hal diantaranya: Komposisi, cahaya, garis, bentuk, tekstur, rupa, warna dan vertical atau horizontal.
Komposisi
Komposisi adalah susunan objek foto secara keseluruhan pada bidang gambar agar objek menjadi pusat perhatian (POI=Point of Interest). Dengan mengatur komposisi foto kita juga dapat dan akan membangun “mood” suatu foto dan keseimbangan keseluruhan objek.
Berbicara komposisi maka akan selalu terkait dengan kepekaan dan “rasa” (sense). Untuk itu sangat diperlukan upaya untuk melatih kepekaan kita agar dapat memotret dengan komposisi yang baik.
Ada beberapa cara yang dapat dipakai untuk menghasilkan komposisi yang baik.Diantaranya:
Sepertiga Bagian (Rule of Thirds)
Pada aturan umum fotografi, bidang foto sebenarnya dibagi menjadi 9 bagian yang sama. Sepertiga bagian adalah teknik dimana kita menempatkan objek pada sepertiga bagian bidang foto. Hal ini sangat berbeda dengan yang Umum lakukan, di mana kita selalu menempatkan objek di tengah-tengah bidang foto.
Sudut Pemotretan (Angle of View)
Salah satu unsur yang membangun sebuah komposisi foto adalah sudut pengambilan objek. Sudut pengambilan objek ini sangat ditentukan oleh tujuan pemotretan. Maka dari itu, jika kita ingin mendapatkan satu moment dan mendapatkan hasil yang terbaik, kita jangan pernah takut untuk memotret dari berbagai sudut pandang. Mulailah dari yang standar (sejajar dengan objek), kemudian cobalah dengan berbagai sudut pandang dari atas, bawah, samping sampai kepada sudut yang ekstrim.
Komposisi pola garis Diagonal, Horizontal, Vertikal, Curve.
Di dalam pemotretan Nature, pola garis juga menjadi salah satu unsur yang dapat memperkuat objek foto. Pola garis ini dibangun dari perpaduan elemen-elemen lain yang ada didalam suatu foto. Misalnya pohon,ranting, daun, garis cakrawala, gunung, jalan, garis atap rumah dan lain-lain..
Elemen-elemen yang membentuk pola garis ini sebaiknya diletakkan di sepertiga bagian bidang foto. Pola Garis ini dapat membuat komposisi foto menjadi lebih seimbang dinamis dan tidak kaku.
Background (BG) dan Foreground (FG)
Latar belakang dan latar depan adalah benda-benda yang berada di belakang atau di depan objek inti dari suatu foto. Idealnya, BG dan FG ini merupakan pendukung untuk memperkuat kesan dan fokus perhatian mata kepada objek.
Selain itu juga “mood” suatu foto juga ditentukan dari unsur-unsur yang ada pada BG atau FG. BG dan FG, seharusnya tidak lebih dominan (terlalu mencolok) daripada objek intinya. Salah satu caranya adalah dengan mengaburkan (Blur) BG dan FG melalui pengaturan diafragma.
Beberapa teknik sudut pengambilan sebuah foto, yaitu:
Pandangan sebatas mata (eye level viewing);
paling umum, pemotretan sebatas mata pada posisi berdiri, hasilnya wajar/biasa, tidak menimbulkan efek-efek khusus yang terlihat menonjol kecuali efek-efek yang timbul oleh penggunaan lensa tertentu, seperti menggunakan lensa sudut lebar, mata ikan, tele, dan sebagainya karena umumnya kamera berada sejajar dengan subjek.
Pandangan burung (bird eye viewing);
bidikan dari atas, efek yang tampak subjek terlihat rendah, pendek dan kecil. Kesannya seperti “kecil”/hina terhadap subjek. Manfaatnya seperti untuk menyajikan suatu lokasi atau landscap.
Low angle camera;
pemotretan dilakukan dari bawah. Efek yang timbul adalah distorsi perspektif yang secara teknis dapat menurunkan kualitas gambar, bagi yang kreatif hal ini dimanfaatkan untuk menimbulkan efek khusus. Kesan efek ini adalah menimbulkan sosok pribadi yang besar, tinggi, kokoh dan berwibawa, juga angkuh. Orang pendek akan terlihat sedikit “normal”. Menggambarkan bagaimana anak-anak memandang “dunia” orang dewasa. Termasuk juga dalam jenis ini pemotretan panggung, orang sedang berpidato di atas mimbar yang tinggi.
Frog eye viewing,
pandangan sebatas mata katak. Pada posisi ini kamera berada di bawah, hampir sejajar dengan tanah dan tidak diarahkan ke atas, tetapi mendatar dan dilakukan sambil tiarap. Angle ini digunakan pada foto peperangan, fauna dan flora.
Waist level viewing,
pemotretan sebatas pinggang. Arah lensa disesuaikan dengan arah mata (tanpa harus mengintip dari jendela pengamat). Sudut pengambilan seperti ini sering digunakan untuk foto-foto candid (diam-diam, tidak diketahui subjek foto), tapi pengambilan foto seperti ini adalah spekulatif.
High handheld position;
pemotretan dengan cara mengangkat kamera tinggi-tinggi dengan kedua tangan dan tanpa membidik. Ada juga unsur spekulatifnya, tapi ada kiatnya yaitu dengan menggunakan lensa sudut lebar (16 mm sampai 35 mm) dengan memposisikan gelang fokus pada tak terhingga (mentok) dan kemudian memutarnya balik sedikit saja. Pemotretan seperti sering dilakukan untuk memotret tempat keramaian untuk menembus kerumunan.
Film
Film adalah media untuk merekam gambar yang terdiri dari lempengan tipis dengan emulsi yang peka cahaya. Karena peka cahayalah yang membuat film harus disimpan dalam kotak atau tabung yang tak terkena cahaya. Film mempunyai ukuran 35mm dan 120mm atau disebut medium format.
Ada beberapa jenis film. Diantaranya:
NEGATIF FILM:
Film negatif atau klise, adalah sebutan untuk citra yang terbentuk pada film sesudah dipotretkan dan sesudah dikembangkan, di mana bagian yang terlihat gelap pada gambar, pada objek terlihat terang. Warna yang timbul berlawanan karena bagian terang dari objek memantulkan banyak cahaya ke film dan menghasilkan area gelap
X-RAY FILM:
Film sinar-x. Film ini dibuat kontras dan dibungkus dengan kertas timah. Karena sinar x dapat menembus benda-benda padat seprti kulit, tekstil, dan lain-lain, maka dalam pemotretan akan tampak bayangan-bayangan yang mengganggu. Film ini biasa digunakan dalam bidang kedokteran dan pengobatan.
POLAROID FILM:
Polaroid film adalah film yang digunakan untuk menghasilkan foto dalam waktu singkat tetapi tidak mempunyai negatif. Dahulu banyak fotografer professional yang menggunakan kamera ini namun semakin hari kamera dan film jenis ini sudah ditinggalkan. Hanya sebagian fotografer yang masih memakainya. Film Polaroid ditemukan oleh dr Land.
ORTHOCHROMATIC FILM:
Film yang sensitif terhadap warna biru dan hijau tapi tidak pada merah.
MEDIUM FILM:
Film dengan kecepatan sedang (ISO 100, 200). Kelompok film yang paling popular dan banyak diminati pemotret. Ideal untuk pemotretan dalam cuaca yang terang/cerah.
Iso
Iso adalah standard untuk kategori film yang digunakan yang mengindikasikan besar kepekaan film terhadap cahaya. Semakin kecil angka iso, semakin rendah kepekaannya terhadap cahaya. Kepekaan cahaya ini sangat menjadi prioritas dalam pemotretan. Biasanya bila kita ingin memotret pada suasana cahaya yang terang maka, kita dianjurkan memakai film dengan Iso 100 atau film dengan kecepatan rendah.
Ukuran Iso pada film ada berbagai jenis ukuran: 25-50-100-200-400-600-800 dan 1600.
Filter
Penyaring dalam bentuk kaca yang tembus cahaya yang mempunyai ketebalan rata . Filter biasanya dipasang di ujung depan lensa. Ada beberapa jenis filter, diantaranya:
POL COLOR FILTER:
Filter yang terdiri dari selembar polarisator kelabu dan polarisator warna, terdapat berbagai kombinasi warna sehingga dapat digunakan untuk efek-efek tertentu.
POL COLOR FILTER:
Filter yang terdiri dari selembar polarisator kelabu dan polarisator warna, terdapat berbagai kombinasi warna sehingga dapat digunakan untuk efek-efek tertentu.
POL CONVERSION FILTER:
Filter terdiri dari selembar polarisator dengan filter konversi warna (85B). Biasanya juga digunakan untuk jenis kamera kine, sehingga memungkinkan film tungsten digunakan untuk cerah hari dan mempunyai efek seperti filter polarisasi.
POL FIDER FILTER:
Filter yang terdiri dari dua filter PL linier yang digabung menjadi satu. Jumlah filter yang masuk dapat diatur dengan memutar gelang filter.
POLARIZING CIRCULAR FILTER:
Filter yang dibuat dari lembaran polarisator linier dan keeping quarter wave retardation, dilapi di antara dua gelang filter. Efeknya sama dengan filter polarisasi, biasanya digunakan untuk kamera kine.
POLARIZING FILTER:
Filter polarisasi, dipakai untuk menghilangkan refleksi dari segala permukaan yang mengkilap. Filter ini terdiri dari dua bagian, bagian yang satu dengan lain dapat diputar-putar untukmendapatkan sudut paling ideal menghilangkan refleksi, menambah saturasi warna dan menembus kabut atmosfer. Juga berguna untuk membirukan langit.
ND FILTER:
Filter ND. Filter ini berfungsi untuk menurunkan kekuatan sinar 2 kali sampai 8 kali. Filter ini bernada abu-abu muda atau sedang dan tidak mengubah warna gambar.
NEBULA FILTER:
Filter yang menghasilkan gambar dengan efek pancaran sinar radial yang berpelangi.

Mahasiswa Jurnalistik Telusuri Pedoman Pemakaian Bahasa Pers

on Rabu, 05 November 2008

(UIN)-Mahasiswa Jurnalistik Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung semester 3 menelusuri Pedoman Pemakaian Bahasa Pers kamis (30/10) lalu. Dalam perkuliahan ini Asep Syamsul M. Romli, dosen Bahasa Jurnalistik UIN Bandung, menjelaskan 10 Pedoman Pemakaian Bahasa Pers. Menurut beliau, 10 pedoman ini merupakan kesepakatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 10 November 1978 di Jakarta. PWI adalah salah satu organisasi profesi tertua dan terbesar di Indonesia dan dalam kurun waktu 1977-1979, PWI bekerja sama dengan beberapa lembaga di dalam dan luar negeri, menyelenggarakan pelatihan wartawan. Hasilnya dituangkan dalam sejumlah pedoman penulisan, salah satunya ialah 10 Pedoman Pemakaian Bahasa Pers. Drs. AS. Haris Sumadiria M.Si. menjelaskan dalam bukunya, Bahasa Jurnalistik (2006: 193), 10 Pedoman Pemakaian Bahasa Pers meliputi :

  1. Wartawan hendaknya secara konsekuen melaksanakan Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan.

  2. Wartawan hendaknya membatasi diri dalam singkatan atau akronim. Kalau pun ia harus menulis akronim, maka ia harus menjelaskan dalam tanda kurung kepanjangan akronim tersebut agar dapat dipahami oleh khalayak ramai.

  3. Wartawan hendaknya tidak menghilangkan imbuhan, bentuk awal atau prefiks. Tapi dalam penulisan judul imbuhan dan bentuk awal boleh dihilangkan, sedangkan dalam penulisan tubuh berita tidak boleh dihilangkan.

  4. Wartawan hendaknya menulis dengan kalimat-kalimat pendek. Pengutaraan pikirannya harus logis, teratur, lengkap dengan kata pokok, sebutan, dan kata tujuan (subjek, predikat, objek).

  5. Wartawan hendaknya menjauhkan diri dari ungkapan klise atau stereotype yang sering dipakai dalam transisi berita seperti kata-kata sementara itu, dapat ditambahkan, perlu diketahui, dalam rangka.

  6. Wartawan hendaknya menghilangkan kata mubazir seperti adalah (kata kerja kopula), telah (penunjuk masa lampau), untuk (sebagai terjemahan to bahasa Inggris), dari (sebagai terjemahan of dalam hubungan milik), bahwa (sebagai kata sambung) dan bentuk jamak yang tidak perlu diulang.

  7. Wartawan hendaknya mendisiplinkan pikirannya supaya jangan campur adukdalam satu kalimat bentuk pasif (di) dengan bentuk aktif (me). Artinya bila pada awal kalimat ia menulis kalimat aktif, maka harus konsisten hingga akhir menggunakan kalimat aktif, begitu pun dalam penggunaan kalimat pasif.

  8. Wartawan hendaknya menghindari kata-kata asing dan istilah-istilah yang terlalu teknis ilmiah dalam berita. Kalaupun terpaksa menggunakannya, maka harus dijelaskan pengertian dan maksudnya.

  9. Wartawan hendaknya sedapat mungkin menaati kaidah tata bahasa.

10.Wartawan hendaknya ingat bahasa jurnalistik ialah bahasa yang

komunikatif dan spesifik sifatnya, dan karangan yang baik dinilai dari tiga

aspek yaitu isi, bahasa, dan teknik persembahan. (Ash3)

EYD dalam Bahasa Jurnalistik

on Selasa, 28 Oktober 2008


Dalam kegiatan perkuliahan kamis, 23 Oktober 2008 mata kuliah Bahasa Jurnalistik, Asep Syamsul M. Romli menjelaskan peran EYD dan penggunaan EYD dalam bahasa jurnalistik. Beliau menjelaskan, EYD merupakan aturan tata Bahasa Indonesia yang baku. Peran EYD yakni sebagai pedoman umum bagi para pengguna Bahasa Indonesia. Siapa pun, kapan pun, dimana pun menggunakan EYD secara benar dan baik, maka harus menngacu pada EYD yang sesuai dengan Undang-Undang dan Pancasila. EYD pun memiliki pengecualian, biasanya pada penulisan judul. EYD yang digunakan saat ini adalah EYD yang telah disepakati oleh 3 negara yakni Indonesia, Malaysia dan Bruneidarussalam.


A. Penggunaan Huruf Kapital

1. Jabatan tidak diikuti nama orang
Dalam butir 5 Pedoman EYD dinyatakan, huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur
nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang tertentu, nama instansi, atau nama
tempat. Contoh, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Gubernur Jawa Barat, Profesor
Jalaluddin Rakhmat, Sekretaris Jendral, Departemen Pendidikan Nasional.
Jabatan tidak diikuti nama orang tidak memakai huruf kapital. Contoh, Menurut bupati,
anggaran untuk pendidikan naik 25 % dari tahun sebelumnya.
2. Huruf pertama nama bangsa
Dalam butir 7 dinyatakan, huruf kapital digunakan sebagai huruf pertama nama bangsa, suku
bangsa, dan bahasa. Contoh, bangsa Indonesia, suku Sunda, bahasa Inggris.
Ditegaskan, huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan
bahasa yang dipakai bentuk dasar kata turun. Contoh : ke-Sunda-Sundaan, ke-Inggris-
Inggrisan, ke-Batak-Batakan, meng-Indonesiakan.Seharusnya : kesunda-sundaan, keinggris-
inggrisan, kebatak-batakan, mengindonesiakan.
3. Nama geografi sebagai nama jenis
Dalam butir 9 ditegaskan, huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama istilah geografi
yang tidak menjadi unsur nama diri. Contoh, berlayar ke teluk, mandi di kali, menyebrangi
selat, pergi ke arah tenggara, kacang bogor, salak bali, pisang ambon, pepaya bangkok,
nanas subang, tahu sumedang, peuyeum bandung dan telur brebes.
4. Setiap unsur bentuk ulang sempurna
Dalam butir 11 dinyatakan, huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama setiap unsur bentuk
ulang sempurna yang terdapat pada nama badan lembaga pemerintah dan ketatanegaraan,
serta dokumen resmi. Contoh, Perserikatan Bangsa-Bangsa, Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial,
Yayasan Ahli-Ahli Bedah Plastik Jawa Barat, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia,
Garis-Garis Besar Haluan Negara.
5. Penulisan kata depan dan kata sambung
Dalam butir 12 dinyatakan, huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua kata di dalam
nama buku, majalah, surat kabar, dan judul karangan kecuali kata seperti di, ke, dari, dan,
yang, dan untuk yang tidak terletak pada posisi awal. Biasanya dipakai pada penulisan judul
cerpen, novel. Contoh, Harimau Tua dan Ayam Centil, Hari-Hari Penantian dalam Gua
Neraka, Kado untuk Setan, Taksi yang Menghilang.

B. Penulisan Huruf Miring

1. Penulisan nama buku
Pada butir 1 pedoman penulisan huruf miring ditegaskan, huruf miring dalam cetakan dipakai
untuk menuliskan nama buku, majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam tulisan. Contoh,
Buku Jurnalistik Indonesia, Majalah Sunda Mangle, Surat Kabar Bandung Pos.
2. Penulisan penegasan kata dan penulisan bahasa asing
Butir 2 pedoman penulisan huruf miring menyatakan, huruf miring dalam cetakan dipakai
untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata.
Contoh, boat modeling, aeromodeling, motorsport.
3. Penulisan kata ilmiah
Butir 3 pedoman penulisan huruf miring menegaskan, huruf miring dan cetakan dipakai untuk
menuliskan kata nama ilmiah dan ungkapan asing kecuali yang telah disesuaikan ejaannya.
Contoh, royal-purple amethyst, crysacola, turqoisa, rhizopoda, lactobacillus, dsb.

C. Penulisan Kata Turunan

1. Gabungan kata dapat awalan akhiran
Butir 3 pedoman kata turunan menegaskan, jika bentuk dasar yang berupa gabungan kata
mendapat awalan dan akhiran sekaligus, unsur gabungan kata itu ditulis serangkai. Contoh,
bertepuk tangan, garis bawahi, dilipatgandakan, sebar luaskan.
2. Gabungan kata dalam kombinasi
Butir 4 pedoman penulisan kata turunan menyatakan, jika salah satu unsur gabungan kata
hanya dipakai dalam kombinasi, gabungan kata itu ditulis serangkai. Contoh, antarkota,
antarsiswa, antipornografi, antikekerasan, anti-Amerika, audiovisual, demoralisasi,
dwiwarna, dwibahasa, ekasila, ekstrakulikuler, interkoneksi, intrakampus, multifungsi,
pramuwisma,
tunakarya, tunarungu, prasejarah, pascapanen, tridaya, rekondisi.

D. Penulisan Gabungan Kata

1. Penulisan gabungan kata istilah khusus
Butir 2 pedoman penulisan gabungan kata mengingatkan, gabungan kata, termasuk istilah
khusus, yang mungkin menimbulkan kesalahan pengertian dapat ditulis dengan tanda hubung
untuk menegaskan pertalian di antara unsur yang bersangkutan. Contoh; alat pandang-
dengar, anak-istri saya, buku sejarah-baru, mesin-hitung tangan, ibu-bapak kami.
2. Penulisan gabungan kata serangkai
Butir 3 pedoman penulisan gabungan kata menegaskan, gabungan kata berikut harus ditulis
serangkai. Contoh, acapkali, adakalanya, akhirulkalam, daripada, darmawisata,
belasungkawa,
dukacita, kacamata, kasatmata, manakala, manasuka, matahari, olahraga,
padahal, peribahasa, radioaktif, saptamarga, saripati, sediakala, segitiga, sekalipun,
sukacita, sukarela, sukaria, titimangsa.



E. PENULISAN PARTIKEL

Penulisan partikel -lah, -kah, dan -tah
Pedoman EYD menetapkan ketentuan pertama menyatakan partikel -lah, -kah, dan -tah
ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya. Contoh: bacalah, tidurlah, apakah,
siapakah, apatah.

1. Penulisan partikel pun

Butir 2 tentang penulisan partikel mengingatkan, partikel pun dituliskan terpisah dari kata yang mendahuluinya.

2. Penulisan partikel per

Butir 3 tentang penulisan partikel menyebutkan, pertikel per yang berarti mulai, demi, dan tiap ditulis terpisah dari bagian kalimat yang mendahului atau mengikutinya.

F. PENULISAN SINGKATAN

Pedoman EYD menegaskan, singkatan ialah bentuk yang dipendekkan yang terdiri atas satu huruf atau lebih. Singkatan nama resmi lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan atau organisasi, serta nama dokumen resmi yang terdiri atas huruf awal kata ditulis dengan huruf kapital dan tidak diikuti dengan tanda titik.

1. Penulisan singkatan umum tiga huruf

Pedoman EYD mengingatkan, singkatan umum yang terdiri atas tiga huruf atau lebih diikuti satu tanda titik. Kaidah bahasa jurnalistik dengan tegas melarang pemakaian singkatan umum seperti ini dalam setiap karya jurnalistik seperti tajuk renacana, pojok, artikel, kolom, surat pembaca, berita, teks foto, feature. Bahasa jurnalistik juga dengan tegas melarang penggunaan singkatan jenis ini dalam judul tajuk, artikel, surat pembaca, atau judul-judul berita.

2. Penulisan singkatan mata uang

Pedoman EYD menegaskan, lambang kimia, singkatan satuan ukuran , takaran, timbangan, dan mata uang tidak diikuti tanda titik.

G. PENULISAN AKRONIM

Menurut Pedoman EYD, akronim ialah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata yang diperlakukan sebagai kata.

Pertama, akronim nama diri berupa gabunga suku kata. Kedua, akronim yang bukan nama diri berupa gabungan huruf.

1. Akronim nama diri

Pedoman EYD menyatakan, akronim nama diri yag berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal huruf kapital.

2. Akronim bukan nama diri

Menurut Pedoman EYD, akronim yang bukan nama diri yang berupa gabungan huruf, suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata seluruhnya ditulis dengan huruf kecil.

Sebagai catatan, Pedoman EYD mengingatkan, jika dianggap perlu membentuk akronim, maka harus diperhatikan dua syarat

Pertama, jumlah suku akronim jangan melebihi jumlah suku kata yang lazim pada kata Indonesia.

Kedua, akronim dibentuk yang sesuai dengan mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata Indonesia yang lazim.

H. PENULISAN ANGKA

Pedoman EYD menetapkan empat jenis penulisan angka,

Pertama, angka dipakai untuk menyatakan lambing bilangan atau nomor. Dalam tulisan lazim digunakan angka Arab atau angka Romawi.

Kedua, angka digunakan untuk menyatakan :

(1) ukuran panjang, berat, luas, dan isi,

(2) satuan waktu,

(3) nilai uang, dan

(4) kuanitas.

Ketiga, angka lazim dipakai untuk melambangkan nomor jalan, rumah, aparteman, atau kamar pada alamat.

Keempat, angka digunakan juga untuk menomori bagian karangan dan ayat kitab suci.

I. PENULISAN LAMBANG BILANGAN

Dari delapan jenis penulisan bilangan yang diatur dalam Pedoman EYD, empat diantaranya perlu dibahas disini. Ini mengingat apa yang dibolehkan dalam Pedoman EYD, belum tentu dibolehkan pula dalam bahsa jurnalistik.

1. Penulisan lambang bilangan satu-dua kata

Pedoman EYD menetapkan, penulisan lambang bilangan yang dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata ditulis dengan huruf kecuali jika beberapa lambang bilangan dipakai secara berurutan, seperti dalam perincian dan pemaparan.

2. Penulisan lambang bilangan awal kalimat

Lambang bilangan pada awal kalimat ditulis dengan huruf. Jika perlu, susunan kalimat diubah sehingga bilangan yang tidak dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata tidak terdapat pada awal kalimat.

3. Penulisan lambang bilangan utuh

Angka yang menunjukan bilangan utuh yang besar dapat dieja sebagian supaya lebih mudah dibaca. Ketentuan dalam Pedoman EYD ini sangat sejalan dengan kaidah bahasa jurnalistik yang senantiasa menuntut kesederhanaan dan kemudahan.

4. Penulisan lambang bilangan angka-huruf

Bilangan tidak perlu ditulis dengan angka dan huruf sekaligus dalam teks kecuali didalam dokumen resmi seperti akta dan kuitansi. (ash3).com



Menelisik Posisi Bahasa Jurnalistik

on Senin, 27 Oktober 2008

(UIN)-Dalam kegiatan perkuliahan Bahasa Jurnalistik Kamis (16/10) Asep Syamsul M. Romli akrab disapa “Kang Romel”, mengangkat materi Posisi Bahasa Jurnalistik. Menurut Kang Romel, dalam terminologi sosiologi Posisi berarti Status. Status adalah kedudukan sosial dalam masyarakat, misalnya status sebagai Dokter, guru, Hakim, Menteri dan sebagainya. Semua status tersebut memiliki peranan tertentu. Jadi setiap posisi memiliki peranan tertentu.

Posisi berkaitan erat dengan “Role” (Peran). Seperti dalam permainan sepak bola, setiap pemain mempunyai peran masing-masing. Ada Penyerang (Striker) berperan mencetak gol ke tim lawan, pemain tengah (pengumpan) berperan memberikan bola ke pemain depan agar mencetak gol, pemain belakang berperan memastikan tidakada lawan ke depan gawang dan mencetak gol, dan penjaga gawang (kipper) berperan menjaga agar lawan tidak mencetak gol. Jadi Peran atau posisi menentukan tindakan apa yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Begitu pun posisi bahasa jurnalistik mempunyai peran tersendiri untuk mempengaruhi masyarakat.

Setelah memberikan gambaran tentang peran /posisi melalui ilustrasi di atas, kang Romel mengajak para mahasiswa jurnalistik semester 3 merumuskan posisi bahasa jurnalistik. Melalui diskusi dan tanya jawab, akhirnya posisi bahasa jurnalistik dirumuskan meliputi 3 peran. (1) Alat komunikasi khas media, artinya bahasa jurnalistik hanya digunakan oleh media. Dan Berbeda dengan bahasa-bahasa lain seperti bahasa kedokteran, bahasa hukum dan lain-lain, karena bahasa jurnalistik mempunyai ciri khas tersendiri dan bersifat statis. (2) Laboratorium bahasa bagi masyarakat, artinya bahasa jurnalistik merupakan bahasa hasil proses ‘penggodogan’ sama halnya seperti penelitian di laboratium. Biasanya bahasa jurnalistik menjadi trend center bagi masyarakat dalam penggunaan bahasa. Kata-kata seperti Jabar, Jatim, Sumsel, Sumbar, Curanmor, Miras, PSK, Parpol pada awalnya dipakai oleh media. Namun lama-lama menjadi populer dan digunakan oleh masyarakat. (3) Subsistem dari bahasa Indonesia, artinya bahasa jurnalistik sebagai subsistem merupakan bagian dari bahasa Indonesia sebagai sistem. Maka Bahasa Jurnalistik harus menginduk/mengacu pada Bahasa Indonesia. (Astri S.)

Susahnya Membuat Berita

UIN, (Jurnal A)

Mahasiswa Jurnalistik semester 3 fakultas dakwah dan komunikasi Universitas Islam Negeri Bandung, kelabakan membuat berita saat mengikuti mata kuliah bahasa jurnalistik kamis (11/9) di gedung Z-7 kampus UIN. Asep Syamsul M. Romli, dosen bahasa jurnalistik menugaskan membuat berita hanya dalam beberapa menit. Menurut A.S.M. Romli para mahasiswa harus terbiasa menulis menggunakan bahasa jurnalistik yang sederhana, singkat, padat dan jelas. Namun bagi mahasiswa jurnalistik semester 3, membuat berita menggunakan bahasa jurnalistik yang benar dan baik sangat susah, hingga banyak diantara mereka yang bingung membuat berita. (Astri Septiani)

Lika-Liku Mudik

OPINI

Oleh : Astri Septiani

Mudik adalah tradisi pulang kampung yang telah membudaya. Gak mudik gak asyik, barang kali itulah ungakapan dari sebagian masyarakat Indonesia yang rutin melaksanakan mudik setiap tahunnya. Tapi bagi sebagian lagi mudik menjadi hal yang sangat menjengkelkan. Bagaimana tidak, bila kita ingin mudik dengan menggunakan kereta, pesawat, kapal atau bus kita harus memesan tiket dari jauh-jauh hari. Kalau tiket sudah habis, tiket dari calo pun terpaksa harus kita beli meskipun harganya jauh lebih mahal. Belum lagi kemacetan yang selalu membayangi pikiran kita ketika mempunyai rencana untuk mudik.

Nah,,,mudik ini memang tidak hanya membuat pusing masyarakat yang akan melaksanakannya, tapi juga membuat pemerintah kelabakan mencari solusi untuk mengatasi masalah-masalah saat mudik. Seperti yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan Pariwisata dan Seni Budaya di Wonogiri (DPPSB), DPPSB ini mengkerahkan 750 bus untuk para pemudik. Jumlah itu meliputi 77 bus cadangan yang akan melengkapi 673 unit yang siap beroperasi menghadapi arus mudik. Kepala DPPSB, Sri Wiyoso, yang ditemui Espos di ruang kerjanya, Selasa (18/9), menegaskan jumlah pemudik ke Kota Gaplek tahun ini akan mengalami peningkatan sebesar 5% hingga 10%. (solopos.net )

Bagi pemudik tujuan Tasikmalaya, Garut, Pangandaran dan seterusnya. Pemerintah Daerah Jabar sedang mempersiapkan jalur alternatif yakni jalan lingkar Nagreg sepanjang 600 meter di Ciherang, Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung, untuk mengatasi kemacetan saat mudik nanti. Jalan ini ditargetkan akan mulai dioperasikan pada H-10. Pada tahun-tahun sebelumnya nagreg memang dibanjiri lautan kendaraan yang membuat macet hingga puluhan kilometer. Dan tanjakan emen yang terkenal itu menjadi rawan kecelakaan. Maka dari itu pemerintah berusaha memberikan pelayanan kepada para pemudik dengan mmberikan jalan alternatif ini.

Mudik juga menjadi lahan promosi bagi sebagian perusahaan. Banyak perusahaan yang membuka posko-posko mudik dengan tujuan memberikan kemudahan bagi para pemudik dengan menawarkan jasa. Banyak diantara posko-posko itu yang memberikan pelayanan, mulai dari layanan kesehatan sampai layanan servis kendaraan.

Dan bagi perusahaan seluler banyak yang memberikan layanan info mudik untuk mempermudah pemudik dalam memilih jalur mudik yang aman dan nyaman.

Begitulah kiranya lika-liku mudik yang sering terjadi saat mudik menjelang. Bagi para pemudik dianjurkan untuk mempersiapkan segala sesuatunya baik itu kesehatan fisik anda maupun kesehatan kendaraan anda, agar mudik terasa menyenangkan. Jangan sia-siakan pengalaman mudik yang hanya terjadi satu tahun sekali dan hanya terjadi di Indonesia!.